PENDAHULUAN :
Sumber hukum
Islam adalah merupakan dasar pijakan muslim dalam berkehidupan. Tanpa didasari
sumber hukum, akan timbul suasana dan situasi yang sangat tidak keruan, dimana
setiap manusia akan membuat dasar pokok masing-masing yang berbeda-beda sesuai
dengan kemampuan berfikir masing-masing dan kebutuhan masing-masing.
Sumber Hukum
Islam yang pokok, pertama dan utama adalah Al-Qur’an : Sebenarnya secara umum
dalam al-qur’an segala urusan sudah termaktub, akan tetapi petunjuk teknisnya
tidak secara jelas ada dalam al qur’an melainkan di dalam sumber hukum Islam yang
kedua yaitu HADITS (SUNNAH) Rasulullah Muhammad Saw. Al hasil hadits rasulullah
adalah merupakan tafsiran dari al qur’an itu sendiri.
Jika
Rasulullah tidak secara jelas merinci apa yang mujmal dalam al qur’an, maka
umat islam berfikir (berijtihad) untuk menggali maksud dari apa yang termaktub
dalam al qur’an yang masih bersifat umum tersebut.
1. Tercantum dalam sumber hokum
islam yang mana, petunjuk pelaksanaan al qur’an ?
2. Sebutkan tujuan berijtihad
3. Sebutkan 1 alasan bahwa al
qur’an dari Allah Swt
4. Sebutkan 1 contoh kemukjizatan
al qur’an
I. AL-QUR’AN :
a) Pengertian :
Sebuah kitab dari Allah Swt sebagai mukjizat yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw untuk disampaikan kepada umat manusia yang tertulis dalam mushap, dengan
bahasa arab, yang disampaikan secara mutawatir dan beribadah jika membacanya.
AL QUR’AN :
Kitab dari Allah : Benarkah al qur’an dari Allah Swt ?
Benar bahwa al qur’a, dari Allah dan bukan
Buatan Nabi Saw.
Alasannya :
-
Nabi SAW adalah seorang yang ummi
(belum bias membaca + menulis) sehingga tidak mungkin al qur;an dibuat oleh
orang yang tidak bias baca tulis
-
Al qur’an mengandung mukjizat,
jika bukan dari Allah swt, maka al qur’an tidak akan mengandung mukjizat.
Sebagai Mukjizat : - Petunjuk
hidup untuk akhirat
-
Menjelaskan hal mendatang
-
Kalimat yang indah tak tertandingi
-
Melemahkan untuk mendatangkan
semisalnya
-
Berlaku sepanjang jaman
Tertulis dalam mushap : Salinan
al-qur’an adalah yang tertuang dalam seluruh mushaf qur’an yang
dicetak atau di tulis, sedangkan al
qur’an sendiri berada di lauhim mahfudz
Berbahasakan Arab :
Kearaban al qur’an merupakan bagian dari al qur’an. (terjemahan qur’an
Bukanlah al qur’an )
Ibadah jika membacanya : Jangankan
yang membaca dan meneliti, orang yang mendengarkan nya
saja, apabila dengan baik dan benar,
maka akan mendapatkan rahmat.
b) Fungsi dan Kedudukan :
Al qur’an merupakan sumber hukum
islam yang pertama dan merupakan sumber hukum islam yang utama. Artinya tidak
ada sebuah hukum pun yang boleh bertentangan dengan al qur’an, karena yang
pertama dilihat adalah al qur’an, baru kemudian ke sumber hukum yang lain.
Multi fungsi al qur’an :
- Sebagai petunjuk bagi orang yang
bertaqwa.
- Sebagai dasar pijakan manusia
- Sebagai obat hati
- Sebagai obat jasad
- Sebagai mukjizat rasulullah saw
yang terbesar
II. AL HADITS
(SUNNAH)
a) Pengertian :
Sunnah rasulullah
adalah Segala ucapan, perbuatan dan takrir Nabi Saw.
b) Kedudukan :
Kedudukan hadits adalah sebagai
sumber hukum islam yang kedua. Hadits Rasul (sunnah) ini merupakan dasar hukum
islam apabila tidak secara rinci dijelaskan oleh al qur’an.
c) Fungsi :
- Sebagai penafsir
al qur’an
- sebagai
perinci al qur’an apabila al qur’an masih bersifat mujmal
- Sebagai
penjelas al qur’an apabila al qur’an masih bersifat umum
- Sebagai
pencetus hukum apabila tidak ditemukan dalam al qur’an
III. IJTIHAD
a) Pengertian :
Ijtihad adalah berusaha keras
dengan cara mengeluarkan fikiran dan kemampuan dalam rangka mengeluarkan hukum
yang digali dari al qur’an dan hadits yang masih bersifat global, umum atau
mengandung pengertian yang samar.
b) Kedudukan :
Kedudukan ijtihad sangat penting
dalam tatanan hukum islam, yaitu sebagai pijakan hukum muslim apabila dalam al
qur’an dan hadits tidak secara jelas di paparkan.
c) Fungsi :
- Untuk mempertegas al qur’an dan
hadits yang bersifat umum
- Untuk membuat hukum yang tak
tercantum dalam qur’an dan hadits dengan catatan tidak bertentangan dengan
qur’an dan hadits.
d) Syarat syarat berijtihad
-
mengetahui, memahami, menguasai alqur’an
-
mengetahui, memahami, menguasai hadits
-
mengerti dan memahami bahasa arab
-
memiliki kemampuan mengambil hokum berdasarkan analog dg baik
-
berakhlak mulia
AL QURAN:
WAHYU PROGRESIF DAN KITAB KEMANUSIAAN *)
oleh P. Peter B. Sarbini, SVD
1.
PENGANTAR
Benarkah
Al Quran itu wahyu Allah atau hanya hasil karya Muhammad dan para juru tulisnya?
Pertanyaan itu pernah dilontarkan oleh orang-orang Quraisy pada zaman Nabi,
para sarjana Barat, dan bahkan orang-orang pada zaman ini. Umat Islam dengan
keras menolak hal itu. Al Quran bukan merupakan rekayasa Nabi dan para juru
tulisnya. Nabi SAW tidak bisa membaca dan menulis. Rasulullah SAW sendiri
pernah mengatakan bahwa Al Quran itu mukjizat baginya, sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniai kemukjizatan, sehingga
karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah
padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui
pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat". Selain itu terdapat
beberapa bukti kuat yang menyatakan bahwa Al Quran adalah benar-benar wahyu
Allah. Bukti-bukti tersebut dinyatakan dalam Al Quran itu sendiri, yakni salah
satu ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar wahyu
(Allah) yang diturunkan kepada Rasul yang mulia ……Ia adalah wahyu yang
diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan
perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan menindaknya dengan kekerasan……",
(QS. 69:38-42; 10:37-38; 11:13-14; 2:23-24; 17:88).
Tulisan ini mencoba menghantar secara singkat kepada kebenaran Al Quran sebagai
wahyu Allah yang progresif, sekaligus kitab kemanusiaan.
2. AL
QURAN
2.1. Pengertian
Kata Al Quran berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca. Bentuk
masdar-nya adalah qur'an yang berarti bacaan.(1) Al Quran
mempunyai beberapa nama, yaitu Alkitab atau Kitab Allah (QS. 6:114), Al-Furgan
yang berarti pembeda antara yang benar dan batil (QS. 25:1), Az-Zikr yang
berarti peringatan (QS. 15:9), dan At-Tanzil yang berarti diturunkan (QS.
26:192). Selain itu, nama Al Quran adalah Al-huda (petunjuk), Ar-Rahman (kasih),
Al-Majid (mulia), An-Nazir (pemberi peringatan). Imam as-Suyuti dalam bukunya
al-Itqan fi?Ulum Al-Qur'an (tentang ilmu-ilmu Al Quran) juga menyebut beberapa
nama, yakni Al-Mubin (penjelas), Al-Karim (yang mulia), Al-Kalam (firman
Tuhan), dan An-Nur (cahaya).
Istilah
qur'ân paling umum diterjemahkan sebagai "bacaan" atau
"tilawah" (bacaan yang dilantunkan), dan telah dihubungkan secara
etimologis dengan qeryânâ (bacaan Kitab Suci, bagian dari Kitab Suci yang
dibacakan pada acara kebaktian) dalam bahasa Suriah, dan miqra' dalam bahasa
Ibrani (pembacaan suatu kisah, Kitab Suci). Sebagian mufsir muslim juga
berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bentuk fuc?lân, qur'ân membawa
konotasi "bacaan sinambung" atau "bacaan abadi", yang
dibaca dan didengar berulang-ulang. Dalam pengertian ini, kata tersebut
dipahami sebagai suatu batu uji spiritual dan contoh sempurna bagi
kesusastraan. Sebagai suatu judul, Al Quran merujuk pada wahyu (tanzíl) yang
"diturunkan" (unzila) oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad selama hampir
23 tahun.(2) Dalam konotasi yang lebih universal, ia adalah ekspresi diri umm
al-kitâb atau paradigma komunikasi ilahiah (QS. Al-Ra'd/13 :39). Bagi seluruh
muslim, Al Quran merupakan kitab suci paling sempurna.
2.2. Al
Quran: Sejarah, Isi, dan Kodifikasi
Sebagai wahyu (QS. 4:163), surah-surah dan ayat-ayat Al Quran diturunkan oleh
Allah SWT secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23
tahun. Hikmah diturunkannya Al Quran secara berangsur-angsur ini antara lain
adalah (1) untuk meneguhkan hati Rasullullah SAW dengan cara mengingatkannya
terus menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut-pengikut
Nabi SAW, (3) diantara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan
dari suatu pertanyaan atau masalah yang diajukan kepada nabi SAW sesuai dengan
keperluan, (4) hukum-hukum Allah SWT yang terkandung didalamnya mudah
diterapkan secara bertahap, dan (5) memudahkan penghafalan.
Ayat-ayat
yang pertama diturunkan adalah lima
ayat pertama dari surah al-'Alaq. Ayat-ayat tersebut turun ketika Nabi SAW
sedang tahannuts (bermeditasi) di dalam sebuah gua yang terletak digunung Hirâ,
dekat kota
Makkah. Peristiwa itu terjadi pada malam 17 Ramadan (6 Agustus 610). Ketika itu
Nabi SAW berusia 40 tahun. Pada malam itu Nabi SAW melihat malaikat Jibril
datang kepadanya sambil berkata: Iqra' (bacalah). Lalu beliau menjawab,
"Ma ana bi qari" (saya tidak dapat membaca). Mendengar jawaban Nabi
SAW, malaikat Jibril lalu memeluk tubuh Rasulullah dengan sangat erat, kemudian
melepaskan pelukannya serta kembali menyuruh dia membaca. Namun setelah
dilakukan sampai tiga kali dan Nabi SAW tetap saja memberikan jawaban yang
sama, malaikat itu kemudian membacakan wahyu yang dibawanya, yakni membaca lima ayat pertama Surah
Al- 'Alaq (96), yang secara tradisional dianggap sebagai wahyu pertama Al
Quran.(3)
Ketika
menerima wahyu pertama di gua Hirâ', Muhammad merasa malaikat Jibril memeluk
dan menekannya begitu kuat. Ia sangat ketakutan melihat Jibril, lalu lari
pulang ke rumah serta meminta sang istri untuk menyelimutinya. Bagi dia,
menerima wahyu merupakan pengalaman yang sangat berat, yang dapat membuat dia
bermandi keringat meskipun udara amat dingin. Pada saat dia berada dalam
ketakutan yang mencekam, wahyu pun diturunkan, menyuruh Muhammad untuk
"bangkit dan mengingatkan" (QS. Al-Muddatstsir/74:1-2). Setiap kali
menerima wahyu sepertinya nabi dipindahkan ke alam lain. Ia menerimanya tidak
dengan indera biasa. Hal itu terbukti dalam diri para sahabatnya yang ada
didekatnya tidak melihat dan mendengar apa-apa. Sahabatnya menceritakan bahwa
pernah ketika Muhammad duduk menerima wahyu, ia merasa pahanya yang ada dibawah
paha Nabi SAW, remuk seakan-akan terhimpit oleh barang berat.(4)
Setelah
peristiwa itu, tidak lama kemudian turunlah wahyu kedua, yaitu surah
al-Muddassir ayat 1-10. Isinya ialah menyeru Nabi SAW agar menyampaikan dakwah
Islam kepada manusia.(5) Setelah itu, penurunan wahyu terhenti beberapa tahun.(6) Nabi SAW
merasa sangat gelisah dan sedih. Ia menjadi tenang setelah turun Surah ad-Duha.
Sesudah itu ayat-ayat lain diturunkan sacara bertahap menurut kejadian-kejadian
yang memerlukannya dan tidak pernah lagi terputus sampai wahyu yang terakhir.
Pada
umumnya ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya Al Quran ialah hari
Jumat, 9 Zulhijah 10 atau 16 Maret 632. Beberapa bulan sesudah ayat terakhir (7) (QS .
5:3) ini turun, Rasulullah wafat (8 Juni 632). Ulama sepakat bahwa wahyu
terakhir diturunkan ketika Nabi SAW wukuf di padang Arafah untuk menunaikan ibadah haji
yang kemudian terkenal dengan nama haji wadak (haji penghabisan).
Pada
umumnya ulama berpendapat bahwa Al Quran diturunkan dari Lauh Mahfuz (catatan
mengenai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT) ke dunia. Namun dari
kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat tentang cara menurunkannya dari
Lauh Mahfuz. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang
mengatakan bahwa Al Quran itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam
Al-qadar (kemuliaan) lengkap dari ayat pertama sampai terakhir. Ayat-ayat ini
kemudian diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah selama hampir 23
tahun.
Pendapat
kedua dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi. Ia berpendapat bahwa Al Quran
diturunkan ke dunia dalam 23 kali malam al-qadar . Ayat-ayat yang diturunkan
dalam setiap malam al-qadar ialah ayat-ayat yang hendak diturunkan pada tahun
itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW.
Pendapat ketiga dari asy-Sya'bi (tokoh tradisionalisme) yang mengatakan bahwa
Al Quran diturunkan hanya bagian permulaannya saja pada malam al-qadar.
Sedangkan bagian lainnya diturunkan sesudah itu secara bertahap dalam berbagai
waktu. Menurut para ulama, pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat.
Al-Qur 'an diturunkan kepada Nabi SAW melalui berbagai cara, yaitu:
- Malaikat Jibril
"memasukkan" wahyu itu ke dalam hati Rasulullah tanpa
memperlihatkan wujudnya. Ia secara tiba-tiba merasakan wahyu itu telah
berada di dalam hatinya. Nabi SAW mengatakan hal ini: "Rohulkudus
mewahyukan ke dalam kalbuku".
- Malaikat Jibril menampakkan
dirinya kepada Muhammad sebagai seorang laki-laki dan mengucapkan
kata-kata dihadapannya, sehingga dia cepat mengetahui dan menghafal
ayat-ayat yang disampaikannya itu.
- Wahyu itu turun kepada Nabi SAW
seperti bunyi gemerincing lonceng.(8) Cara ini
dirasakan oleh Rasulullah sebagai yang paling berat sehingga dia
mencucurkan keringat, meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat
dingin. Apabila Nabi SAW sedang mengendarai unta, maka ketika itu juga
untanya terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat.
- Malaikat Jibril menyampaikan
wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli (surah an - Najm ayat 13 dan
14)
Setiap
kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya (QS. 75:16-19). Hafalan
tersebut dikontrol oleh malaikat Jibril. Selain itu, Rasulullah juga
membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk
mengajarkan Al Quran kepada mereka (QS. 16:44). Di samping menyuruh para
sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkan, Nabi SAW juga memerintahkan
mereka yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma,
lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Sahabat yang pandai
menulis sangat berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat itu. Hal itu didorong
oleh keyakinan mereka bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT yang harus
dijadikan pedoman hidup, sehingga perlu dijaga dengan baik. Ketika di Madinah,
Rasulullah memiliki beberapa juru tulis, diantaranya yang terkenal ialah Zaid
bin Sabit.
Masa
turunnya Al Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah, yaitu
masa Nabi SAW bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya wahyu pertama
sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut disebut juga periode
sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama periode pertama ini dinamakan
ayat-ayat Makkiyyah, yang berjumlah 4.726 ayat dan meliputi 89 surah. Ciri-ciri
ayat-ayat Makkiyyah antara lain pendek-pendek, dimulai dengan perkataan ya
ayyuha an-nas (wahai manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid,
iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, serta berbagai masalah yang
menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat).
Kedua
periode madinah, yakni masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632). Masa
ini disebut juga periode hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini
disebut ayat-ayat Madaniyyah yang berjumlah 1.510 ayat dan mencakup 25 surah.
Adapun ciri-ciri ayat-ayatnya adalah panjang-panjang (tiwal), diawali dengan
perkataan ya ayyuha allazina amanu (wahai orang-orang beriman/percaya),
kebanyakan berisi hukum-hukum yang jelas, dan banyak membicarakan orang yang
berhijrah (kaum Muhajirin), kaum Ansar dan kaum munafik serta ahli kitab.
2.2.2. Isi
Al Quran
Al Quran mempunyai 114 surah yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah
terpendek terdiri atas 3 ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat. Semua
surah, kecuali surah yang ke-9 (at-Taubah), dimulai dengan kalimat Bismi Allah
ar-Rahman ar-Rahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Ada perbedaan mengenai
jumlah ayat ini.(9)
Untuk
memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al Quran ke dalam 30
Juz (bagian) yang sama panjang dan dalam 60 Hizb (nama hizb ditulis di sebelah
pinggirnya). Setiap Hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub'
(seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya Al Quran dibagi pula ke dalam 554 ruku' (bagian yang terdiri atas
beberapa ayat). Setiap satu ruku' ditandai dengan huruf 'ain di sebelah
pinggirnya. Surah yang panjang berisi beberapa ruku', sedangkan surah yang
pendek hanya berisi satu ruku'. Tanda pertengahan Al Quran (nisf Al Quran)
terdapat pada surah al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf (hendaklah ia
berlaku lemah lembut).
Dalam Al
Quran terhimpun hasil Kitab Suci yang sudah ada sebelumnya, malahan juga hasil
segala ilmu.(10) Ia merupakan " (sebuah kitab) yang menjelaskan segala
sesuatu" (QS. 12:111). Pada pokoknya Al Quran berisi akidah dan syariah.
Akidah dirumuskan dengan kata "iman", sedangkan syariah "amal
saleh" (bdk. QS. 16:97). Keduanya dapat dibedakan namun tak dapat
dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik.
Demikian pula sebaliknya, bersyariah tetapi tidak berakidah adalah munafik.(11)
2.2.3. Kodifikasi
Al Quran
Kodifikasi atau pengumpulan Al Quran telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW,
bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Quran. Sebagaimana
diketahui, Al Quran diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setelah ayat-ayat diturunkan, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk
membedakannya dari surah yang lain. Rasulullah juga memberi petunjuk tentang
urutan penempatan surah di dalam Al Quran. Penyusunan ayat-ayat dan
penempatannya di dalam susunan Al Quran juga dilakukan berdasarkan petunjuk
Nabi SAW. Cara pengumpulan yang dilakukan pada masa itu berlangsung sampai Al
Quran sempurna diturunkan dalam waktu kurang lebih 23 tahun.
Untuk
menjaga kemurnian Al Quran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Bukhari dan
Muslim, setiap tahun Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa
bacaannya. Bahkan pada tahun wafat Rasulullah, Malaikat Jibril datang dua kali.
Ia mengontrol bacaan Rasulullah dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan
ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi sendiri juga melakukakan hal
sama, yaitu mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya sehingga terpeliharalah Al
Quran dari kesalahan dan kekeliruan.
Pada masa
Rasulullah SAW, sudah banyak sahabat (baik dari kalangan Muhajirin maupun
Ansar) yang menghafal beberapa puluh surah. Bahkan banyak juga yang telah
menghafal setengah Al Quran dan seluruh isinya dengan lancar.(12) Di
samping itu terdapat sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu.(13)
Ayat-ayat suci Al Quran yang telah ditulis oleh mereka itu disimpan di rumah
Rasulullah SAW. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam
suatu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti yang dijumpai sekarang),
melainkan masih berserakan.
Setelah
Rasulullah wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al
Quran yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan
batu-batu tetap disimpan di rumah Nabi SAW sampai terjadinya perang Yamamah
yang merenggut korban kurang lebih 70 sahabat penghafal Al Quran (huffaz).
Karena banyak yang gugur sebagai syuhada, maka timbul kekhawatiran akan terjadinya
perang lagi dan punahnya sahabat-sahabat penghafal Al Quran. Lebih jauh lagi,
hal itu dapat mengakibatkan hilangnya Al Quran. Oleh karena itu, Umar bin
Khattab lalu menyarankan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun surah-surah
dan ayat-ayat yang masih berserakan itu ke dalam satu mushaf. Abu Bakar merasa
berat untuk menerima pekerjaan kodifikasi itu. Namun pada akhirnya ia dapat
menerimanya demi memelihara kelestarian Al Quran. Ia lalu memerintahkan Zaid
bin Sabit untuk memimpin tugas kodifikasi ini dengan dibantu oleh Ubay bin
Ka'b, Ali bin Abu Talib, Usman bin Affan, dan beberapa sahabat qurra' (para
pembaca) lainnya. Di dalam usaha kodifikasi, Zaid bin Sabit berpegang pada
tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat,
dan naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabat. Semuanya itu dikumpulkan dan
ditulis di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf, kemudian
disusun menjadi satu mushaf, dan akhirnya diserahkan kepada Abu Bakar.
Sesudah
Abu bakar wafat, mushaf itu berada dalam pengawasan Umar. Setelah Umar wafat,
mushaf ini disimpan di rumah Hafsah.(14) Pada
masa khalifah Usman bin Affan, timbul perselisihan masalah kiraah (cara membaca
Al Quran). Salah satu usulan Huzaifah bin Yaman untuk mengatasi perselisihan
itu ialah perlunya Khalifah Usman bin Affan menetapkan aturan penyeragaman
bacaan Al Quran standar yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat
Islam di berbagai wilayah. Usulan itu diterima, lalu dibentuklah panitia.
Sesudah selesai, Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada
Hafsah. Penyalinan Al Quran dengan dialek yang seragam di masa Usman itulah
yang disebut Mushaf 'Usmani. Semuanya berjumlah 5 buah. Satu mushaf disimpan di
Madinah, yang kemudian dikenal dengan Mushaf al-Imam. Empat lainnya dikirim ke
Makkah, Suriah, Basra,
dan Kufah untuk disalin serta diperbanyak.
Usaha
kodifikasi Al Quran di masa Usman membawa beberapa keuntungan, antara lain (1)
menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah kiraah, (2) meyeragamkan
dialek bacaan Al Quran, (3) menyatukan tertib susunan surah-surah menurut
tertib urut seperti dalam mushaf-mushaf yang dijumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai
propinsi Islam itu mendapat sambutan positif. Mereka menyalin dan memperbanyak
mushaf itu dengan sangat hati-hati. Diriwayatkan bahwa Abdul Aziz bin Marwan
(gubernur Mesir) setelah menulis mushaf-nya, menyuruh orang lain untuk
memeriksanya sambil menjanjikan bahwa siapapun yang dapat menemukan suatu
kesalahan dalam tulisannya akan diberi hadiah berupa seekor kuda dan uang
sejumlah tiga puluh dinar. Kewaspadaan kaum muslimin terhadap setiap penulisan
Al Quran ini tetap berlanjut dari masa ke masa. Penyalinan Mushaf 'Usmani juga
bertambah pesat dilakukan oleh kaum muslimin.(15)
2.3. Al
Quran: Himpunan Wahyu Tertinggi
Wahyu berasal dari kata wahy, dari kata kerja bahasa Arab, waha, yang berarti
meletakkan dalam pikiran, kadang-kadang dipahami sebagai "inspirasi".
Al Quran menggunakan istilah ini tidak hanya untuk inspirasi ilahiah yang
diberikan kepada manusia, tetapi juga untuk komunikasi spiritual di antara
mahkluk-mahkluk yang lain. Namun, wahyu merujuk secara spesifik kepada wahy,
yakni inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia terpilih, yang dikenal
sebagai nabi-nabi, dengan maksud sebagai petunjuk.(16) Proses
pewahyuan dimulai dari Adam (manusia dan nabi pertama) dan berlanjut sepanjang
sejarah manusia hingga pesan wahyu akhirnya dipelihara secara utuh dalam bentuk
Al Quran.
Kaum
muslim menerima tidak hanya Al Quran, tetapi juga Taurat Musa, Mazmur atau
Zaburnya Nabi Daud, dan Injilnya Isa sebagai jalinan dalam rantai wahyu
ilahiah. Namun untuk memahami wahyu diperlukan pertimbangan yang hati-hati
terhadap kekhususan konteks dan keuniversalan pesan bagi umat manusia. Sejak
wahyu diturunkan untuk membimbing urusan-urusan manusia, pemahaman intelektual
serta implementasi praktis melalui contoh keagamaan juga dibutuhkan. Dengan
demikian, nabi-nabi adalah pembawa pesan dan sekaligus model.
Para pemikir muslim mutakhir telah
mengekspresikan kebutuhan dan interpretasi, wahyu Al Quran dari metode
literalisme sempit dan ayat demi ayat, yang bersifat atomistik, sebagaimana
tafsir yang awal. Hal ini membawa kepada tafsir dunia yang mengalami perubahan
cepat dan radikal. Tafsiran semacam itu sesuai dengan opini tradisional bahwa
wahyu adalah khazanah pengetahuan khusus, yang menghubungkan Ilahi Sang
Pencipta dengan manusia yang memiliki kehendak bebas dan kapasitas independen
untuk menalar.
Pada
sepanjang sejarah Muslim telah berlangsung perdebatan seru mengenai
nilai-relatif pengetahuan yang diterima dari wahyu ilahiah serta pengetahuan
yang didapat melalui penalaran independen. Beberapa filosof berpendapat bahwa
akal manusia mencukupi untuk membimbing urusan-urusannya. Untuk itu, manusia
hanya perlu berpaling kepada wahyu dalam hal-hal tertentu. Namun, apabila Al
Quran adalah wahyu dari kehendak Tuhan, ia seharusnya tidak tertantang dan
tidak dapat disamai.(17)
Kaum
Muslim percaya bahwa Al Quran adalah himpunan wahyu tertinggi (18) dari
setiap kata demi kata. Di dalam Al Quran itu sendiri dinyatakan: "Al Quran
adalah wahyu, diturunkan oleh Kami ……Kami turunkan dalam bahasa Arab……pada
orang Arab, jelas dan tepat……Bila Kami membacanya, Engkau (Muhammad) harus
mengikutinya……Jangan berupaya membawa wahyu kepada dirimu sendiri……Seandainya
Nabi menisbahkan kepada Kami apa yang tidak Kami wahyukan, maka kami akan
merenggutnya dengan kekuatan dan memotong urat nadi jantungnya" (QS.
4:104; 26:195; 12:2; 20:113; 3:7; 75:16-17; 69:45-46).
Kaum
Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran suci dari
Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya. Bukti bahwa Al
Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri, yakni antara lain
terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat ditiru dan tidak tertandingi
sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al Quran bukan karya manusia,
melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang demikian ini disebut I'jâz.
2. 4. Al
Quran: Wahyu progresif dan Kitab Kemanusiaan
Bertolak dari uraian di atas, timbul pertanyaan: Apakah Al Quran yang diimani
sebagai wahyu ilahi dan menjadi the way of life umat Islam boleh diberi tafsir
kontekstual yang sesuai dengan prinsip Al Quran sebagai wahyu progresif?
progresivitas
Al Quran terbukti saat teksnya berdialog dengan konteks sejarah masa lampau,
sekarang, dan proyeksinya ke masa depan. Sebagai teks progresif, ia tentu tidak
bisa bicara sendirian dengan realitas. Dia memerlukan manusia sebagai penafsir
yang bervisi progresif, sehingga Al Quran pun menjadi wahyu yang progresif. Di
sisi lain, sebagai wahyu progresif, ia merekam seluruh spektrum perjuangan para
nabi yang dihadapkan pada pilihan memihak yang berkuasa atau lemah. Mereka
dengan tegas memihak kaum lemah. Nabi SAW dalam sebuah doanya, berkomitmen
untuk hidup, tumbuh, dan mati bersama yang papa. Demikian pula Yesus berjuang
keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan
terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa,
dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses
penerjemahan Al Quran secara progresif.(19) Para
nabi sebelum menjadi instrumen pewahyuan progresif, juga berfungsi sebagai
penafsir firman Tuhan yang menjadi progresif dan harus didialogkan dengan
situasi, konteks, serta kebutuhan komunitas. Al Quran secara lebih tegas
menunjukkan dan mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas
dengan menunjuk teks mustadl'afnn. Teks ini amat progresif, karena kelemahan
yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Al Quran, disebabkan bukan by
nature, by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design),
yang dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor "struktural" atau
dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter,
represif, dan tiran.
Penggunaan
Al Quran dengan merujuk teks mustadl'afnn sebagai kelompok lemah, marginal, dan
tertindas tersebut terlihat jelas pada teks, "dalam harta si kaya",
ada bagian intrinsik bagi orang miskin (Q. S. al-Ma'arif/70:25;
al-Dzariyat/51:19). Dengan demikian, Al Quran mengafirmasikan model keadilan
distributif, agar "harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja" (Q. S. al-Hasyr/59:7). Hal ini membuktikan progresivitas teks
Al Quran yang berdialog dengan situasi sejarah masa silam, dengan konteks kini
dan masa depan saat problem kemiskinan serta penindasan merajalela di
mana-mana. Pada saat yang sama pula, harta dan kekayaan hanya berputar di
antara mereka yang kaya serta berkuasa.
Dr. Farid
Esack (ahli tafsir Al Quran dari Afrika Selatan) menjadikan teks mustadl'afnn
(Q. S. al-Qahash/28:5) sebagai senjata ampuh untuk membebaskan kaum marginal,
dhuafa, dan tertindas dari rezim penindas apartheid di Afrika Selatan. Teks
tersebut benar-benar mempresentasikan semua penderitaan orang-orang tertindas
di Afrika Selatan.(20)
Itulah
salah satu contoh dimana penafsiran teks Al Quran menjadi wahyu progresif yang
kemudian bisa menjadi kekuatan liberatif terhadap yang lemah, marginal, dan
tertindas. Hal tersebut juga merupakan bentuk hermeneutika Al Quran yang
ditafsirkan sebagai wahyu progresif yang memihak dan membebaskan kaum
lemah-tertindas. Lalu, bagaimana dengan Al Quran sebagai kitab kemanusiaan?
Selama ini Al Quran, yang diwahyukan Allah di bulan suci Ramadhan, hampir
selalu dipahami dan dicarakan dalam perspektif ketuhanan. Al Quran bukan sebuah
kitab yang hanya berbicara tentang Tuhan, surga, setan, malaikat, kematian,
atau akhirat saja, melainkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan
segala isinya. Semua masalah itu dibicarakan Al Quran dalam kerangka
kemanusiaan dan kehidupan duniawi. Beberapa contoh berikut ini dapat
memperjelas pernyataan tersebut.
Pertama, dalam terang cahaya wahyu-Nya, Al Quran memaparkan tentang sejarah
suatu bangsa dan sekelompok umat manusia. Pada suatu saat, mereka tumbuh dan
berkembang menjadi kelompok yang kuat dan besar, di saat lain mereka itu hancur
lebur seperti ditelan sejarahnya sendiri.
Kedua, kitab Al Quran juga mengisahkan mengenai kehidupan suatu bangsa yang
penuh kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan, berkeadilan, peka terhadap
persoalan rakyat, bahkan terhadap lingkungan alam; yaitu dunia dan hewan. Kisah
tentang bagaimana bangsa dan sekelompok manusia lainnya dilanda malapetaka dan
berbagai penderitaan serta bencana secara terus menerus, semuanya itu tersebar
hampir di semua surat
Al Quran.
Contoh ketiga, model pemimpin dan kepemimpinan juga bisa dibaca dalam Al Quran.
Sebuah bangsa yang besar dan kaya tetapi dipimpin oleh raja yang otoriter, represif,
dan tiran, dengan para pejabat yang korup serta kesejahteraan yang hanya
dinikmati oleh segelintir elite yang berkuasa, tidak pernah akan hidup lama,
bahkan segera hancur. Sebaliknya Al Quran juga mengisahkan suatu bangsa besar
dan makmur yang dipimpin oleh raja dan para pemimpin yang adil, yang mau
memahami, mendengarkan keluh kesah rakyatnya, bahkan keluh kesah hewan dan
tumbuhan akibat ulah manusia.
Keempat, di dalam Al Quran dapat pula dibaca dan direnungkan berbagai kisah
dramatis bagaimana Nabi Musa dan Nabi Yusuf yang tampil ke panggung sejarah
peradaban dengan posisi serta situasi krusial yang dihadapinya. Masih banyak
contoh lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dengan contoh-contoh itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, maka Al Quran memfungsikan
diri sebagai petunjuk bagi manusia agar bisa membedakan jalan hidup yang terang
dan gelap. Jadi, Al Quran tidak hanya memfokuskan diri pada hal-hal ilahiah,
tetapi bagi pelayanan kepentingan manusia itu sendiri. Al Quran hadir sebagai
suatu kritik atau dzikir (peringatan) terhadap kebiasaan hidup manusia yang
tidak produktif. Meskipun kitab ini mencatat nama-nama Tuhan yang terdapat
dalam 1.882 ayat (hampir 30 persen dari seluruh ayat Al Quran yang berjumlah
lebih dari 6000 ayat), namun nama-nama tersebut berkaitan dengan informasi
tentang berbagai persoalan di sekitar diri manusia dan alam. Dengan demikian,
jelas sekali bahwa Al Quran selain merupakan wahyu yang progresif, juga
merupakan kitab kemanusiaan.
3. AKHIR
KATA
Bila
dihubungkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, maka wahyu Islam membedakan dirinya
sebagai wahyu yang berkenan dengan norma-norma agama dan etika, serta
memusatkan perhatian kepada prinsip. Wahyu Islam menyerahkan kepada manusia
tugas menterjemahkannya ke dalam bentuk petunjuk dan perintah untuk kehidupan
sehari-hari. Petunjuk ini disebut sebagai syariah (hukum) atau minhâj
(program). Keajaiban Al Quran menurut banyak orang muslim saat ini, bukanlah
dari cara wahyu itu disampaikan kepada Muhammad di gunung Hirâ' - di Mekkah,
dan kelak di Madinah, tetapi terletak pada kemampuannya secara terus menerus
dalam memberi suatu kepercayaan pada makna serta nilai kehidupan. Agama Islam
pastilah terus menerus kreatif dan inventif dalam penerapan visi orisinal di
tengah dunia yang terus berubah: pada setiap generasi, Islam merespon
modernitas sebagaimana agama-agama lain.